Memulangkan Dana Trilyunan Rupiah
Pemerintah berusaha membawa pulang potensi pajak dari dana yang terparkir di luar negeri. Setiap tahun terjadi capital outflow yang mencapai di kisaran Rp 200 trilyun. RUU Pengampunan Pajak hanya satu jalan. Tetap dibutuhkan penegakan hukum terhadap para penghindar pajak.
Dua hari setelah Panama Papers dipublikasikan berbagai media, sebuah diskusi tentang RUU Tax Amnesty digelar di hotel Pullman, Jakarta. Di sana, informasi menarik lain muncul. Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, yang hadir dalam diskusi, melempar “bom”, dengan mengatakan bahwa uang WNI yang terparkir di luar negeri nilainya gila-gilaan. Bahkan lebih besar dari total produk domestik bruto (PDB) tahun 2015, yang mencapai Rp 11.400 trilyun. “Kemungkinan besar, uang orang Indonesia di luar negeri itu lebih besar dari PDB kita,” katanya.
Mengapa demikian? Bambang mengatakan bahwa uang-uang itu bukan uang yang baru diparkir 1-2 tahun, melainkan sudah disimpan di luar negeri sejak 1970. “Ini data yang kita pakai sejak 20 tahun terakhir,” tambahnya.
Di atas kertas, bila 10% saja aset WNI di luar negeri itu bisa ditarik, Indonesia bisa mendapatkan pemasukan tambahan mencapai Rp 1.000 trilyun. Tapi Bambang menolak berbicara target. Ia lebih menekankan betapa RUU Tax Amnesty yang kini masih dibahas di Komisi XI DPR-RI bisa dijadikan pintu masuk untuk menarik dana-dana tersebut. “Kalau target penerimaan dari tax amnesty, nanti akan kelihatan di APBN-P 2016,” katanya.
Saat ini pembahasan RUU Tax Amnesty memang mendapat momentum akibat publikasi Panama Papers. Dokumen yang dirilis International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) itu memuat ribuan nama pihak yang kemungkinan melakukan penghindaran pajak (tax avoidance). Pemerintah juga sudah memeriksa nama-nama WNI di dokumen itu, yang jumlahnya mencapai 800 orang lebih.
Bambang menjelaskan bahwa sebelum Panama Papers meledak, Direktorat Jenderal Pajak sebenarnya sudah memiliki data tersendiri mengenai para pengemplang pajak. Data itu didapat dari pertukaran ditjen pajak negara-negara G-20, dengan Indonesia adalah salah satu anggotanya. Data itu yang kemudian dicek silang dengan Panama Papers. Hasilnya, menurut Bambang, ada kesamaan nama. Sebagian nama di data Ditjen Pajak ternyata juga ada di Panama Papers. “Kami menemukan kesamaannya, 79%,” katanya
Dari jalur lain, Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPAT), Agus Santoso, mengatakan bahwa pihaknya sudah membentuk tim khusus untuk menyelidiki nama-nama WNI di Panama Papers. Agus mengatakan, nama-nama itu selanjutnya dibandingkan dengan laporan hasil analisis (LHA) dan laporan hasil pemeriksaan (LHP) PPATK. Pengecekan silang itu untuk menelisik nama-nama WNI yang diduga melakukan kejahatan. “Hasilnya bisa memberikan prioritas penelusuran, yang bisa berujung ke laporan hasil analisis,” katanya.
PPATK juga membandingkan data Panama Papers dengan laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dan data political exposed person (PEP). Keduanya adalah laporan yang menelusuri penyelewengan keuangan dan penyamaran aset, khususnya yang dilakukan pejabat negara, baik eksekutif, legislatif, juga yudikatif. Sejauh ini di Panama Papers, beberapa nama mulai terlihat. “Saya lihat memang ada aset-aset atas nama pejabat bersangkutan yang diatasnamakan istrinya atau juga anaknya,” kata Agus.
Tapi, upaya PPATK dan RUU Tax Amnesty merupakan dua hal berbeda. Sebab bila yang pertama berkaitan dengan penegakan hukum, RUU Tax Amnesty justru memberi pengampunan. Meski tujuannya sama, yaitu meningkatkan penerimaan pajak. Mengenai hal ini, Menteri Bambang mengatakan bahwa tahun ini pemerintah memang akan lebih fokus dulu pada tax amnesty, sebelum main keras di penegakan hukum terhadap para penghindar pajak.
***
Pemerintah memang sangat berkepentingan membawa pulang uang WNI yang diparkir di luar negeri. Sebab, selama tujuh tahun terakhir (2009-2015), penerimaan pajak pemerintah selalu di bawah target. Bahkan dalam catatan Gatra, selisih antara target yang ditetapkan dalam APBNP dan realisasi (shortfall) selalu di atas Rp 30 trilyun. Pada 2015 lalu shortfallbahkan membengkak di atas Rp 200 trilyun akibat target pajak yang terlalu tinggi.
Bukan karena rakyat Indonesia sangat miskin sehingga tidak mampu membayar pajak, melainkan karena banyak kalangan –terutama wajib pajak besar– yang terus menghindari pajak, dan diperparah oleh kekurangsigapan pemerintah. Bila menggunakan istilah mantan Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito, “ikannya banyak, tapi jaringnya kurang besar.”
Bahkan di luar Panama Papers, sudah ada beberapa data lain yang menyatakan betapa besarnya potensi perpajakan di Indonesia. Awal Desember 2015 lalu, misalnya, Global Financial Integrity (GFI), lembaga riset internasional asal Washington D.C., Amerika Serikat, yang fokus pada penelitian mengenai transaksi mencurigakan, menempatkan Indonesia di urutan kesembilan sebagai dari 10 negara asal transaksi mencurigakan terbesar di dunia.
Menurut GFI, sepanjang tahun 2004-2013 atau dalam kurun sembilan tahun, Indonesia tercatat mengekspor dana mencurigakan sampai US$ 180,7 milyar atau setara Rp 2.363.389 trilyun. Dengan dana segede itulah banyak ikan yang lolos dari jaring pajak pemerintah.
Bila dirata-rata, menurut perhitungan GFI, tiap tahunnya Indonesia mengekspor illicit fundsebesar US$ 18,071 juta atau setara Rp 236 trilyun. Kebocoran ini luar biasa besar, karena mencapai 20% dari realisasi penerimaan pajak tahun 2015 lalu. Bisa dibayangkan betapa besar sebenarnya potensi penerimaan pajak di Indonesia, bila semua ikan dapat dijaring.
Seorang sumber Gatra di Istana bercerita bahwa rata-rata para pengusaha ekspor-impor di Indonesia memang hanya menaruh uang mereka selama satu jam di perbankan nasional. Uang itu (dalam dolar AS) hanya mampir sebentar untuk ditukar sebagian ke dalam rupiah sebagai pembayaran biaya upah buruh, biaya pihak ketiga, dan sebagainya. Setelah ditukar, uang itu kembali terbang ke negara-negara tax haven. “Rata-rata yang ditukarkan ke rupiah itu hanya 17% dari dana mereka. Sisanya mereka taruh di luar, karena kalau mereka naruh dolar di sini pajaknya bisa 17%-20%, tapi kalau di luar bisa 0%,” kata sumber tersebut.
Bisakah RUU Tax Amnesty mengatasi perilaku tersebut? Sebagian pengamat cenderung berkata tidak. Sejumlah LSM yang tergabung dalam koalisi Forum Pajak Berkeadilan mengatakan, RUU Tax Amnesty itu justru tidak mencerminkan rasa keadilan. Menurut mereka, seharusnya pemerintah bertindak keras dengan memburu para penghindar pajak tersebut, bukannya justru berbaik hati memberi pengampunan. “Orang-orang ini sudah sering mengemplang pajak, janganlah diberi ampunan,” kata Wahyudi, Program Manager Transparency International Indonesia (TII).
Pendapat senada disampaikan Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA). Menurutnya, akibat publikasi Panama Papers yang menyebutkan nama-nama WNI, keberadaan RUU Tax Amnesty justru kehilangan justifikasi. “Karena semua sudah terbuka,” katanya. Ia hanya melihat bahwa RUU Tax Amnesty itu bermanfaat dalam konteks pemerintah dan DPR akan bisa membuat undang-undang perpajakan yang lebih baik.
Kepada Gatra, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan bahwa RUU Tax Amnesty ini tidak berarti bahwa pemerintah membiarkan saja para pengemplang pajak itu bebas. RUU ini, menurutnya, bermanfaat karena memberikan fleksibilitas kepada pemerintah untuk menarik dana di luar negeri tersebut.
Sedangkan mengenai para pengemplang pajak itu, menurut Pramono, pemerintah sudah mengetahui orang-orangnya. Bahkan Pramono juga menegaskan bahwa Presiden sudah memegang data yang lebih detail dibandingkan dengan Panama Papers. “Panama Papers jadi data tambahan saja,” katanya.
Menurut Pramono, data yang dipegang Presiden itu sangat detail karena sudah mencakup nama, tempat menaruh uang, bahkan alamat tinggal. “Misalnya seorang Pramono Anung itu aliran dananya ke mana, taruh uangnya di mana, itu pemerintah sudah punya,” katanya.
Pada 2018 nanti, G-20 memang akan menerapkan petukaran data wajib pajak berdasarkan perjanjian automatic exchange of information (AeoI). Perjanjian AeoI itu memang akan membuat pemerintah mengetahui siapa WNI yang terus menghindari pajak.
Namun mengetahui data itu tidak otomatis pemerintah bisa dengan mudah membawa pulang uang parkir itu ke dalam negeri. “Jejak finansial itu bisa dilacak. Namun permasalahannya adalah bagaimana memulangkan aset-aset itu, karena ada banyak kendala,” katanya Agus Santoso.
Agus lalu menjelaskan bahwa salah satu kendala ialah perbedaan format hukum yang dianut Indonesia dengan negara-negara tax haven. Bila Indonesia menggunakan hukum tradisi Belanda (continental), sebaliknya negara tax haven seperti Singapura, Cayman Island, lalu Hong Kong, menganut hukum tradisi Anglo-Saxon.
Sejumlah kegagalan pernah dialami ketika hendak memulangkan kekayaan WNI di luar negeri. Agus mencontohkan kasus Hesham Al-Warag, yang divonis dalam kasus korupsi Bank Century. Hesham memiliki sejumlah aset di Hong Kong. Namun, ketika pemerintah Indonesia hendak menyita asset Hesham, pemerintah setempat menolak.
Kegagalan lain, kata Agus, juga terjadi saat pemerintah hendak memulangkan aset Agus Anwar, pengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Agus Anwar sudah beralih menjadi warga negara Singapura dan menaruh uangnya di Swiss. Ketika pemerintah hendak menyita aset Agus Anwar, juga gagal karena dianggap uang itu bukan berasal dari Indonesia, tapi dari Singapura. Kasus serupa terjadi pada Joko Chandra, yang kini sudah berkewarganegaraan Singapura, dan menjadi kontraktor di Papua Nugini.
Menurut Bawono Kristiaji dari kantor konsultan pajak Danny-Darussalam Tax Center, pemerintah sebenarnya bisa menempuh cara lain di luar tax amnesty untuk meningkatkan pemasukan pajak. Salah satu opsi, misalnya, aturan tentang mandatory disclosure rules. Ini peraturan yang mengikat perusahaan sekaligus juga firma konsultan pajak untuk melaporkan perencanaan pajak secara rutin kepada pemerintah.
Dengan mandatory disclosure rules, akan terlihat apakah sebuah perusahaan ini sudah berniat menghindari pajak. Aturan ini, antara lain, diterapkan di Irlandia, Kanada, Inggris dan Afrika Selatan. “Jadi kalau di perencanaan pajak itu perusahaan membayar ke konsultan dengan nilai fantastis atau dibayar dari persentase yang di-saving, itu sudah indikasi perencanaan pajak yang agresif. Di Inggris saja sudah efektif untuk mengurangi kebocoran-kebocoran pajak. Itu ada bukti empirisnya,” papar Bawono.
Opsi lainnya adalah tax amnesty yang tidak menyasar pengemplang pajak di luar negeri, tapishadow economy yang didominasi oleh UMKM yang rata-rata tidak patuh pelaporan pajaknya. Tax amnesty untuk shadow economy ini antara lain diterapkan di Turki dan Afrika Selatan. “Ini juga sangat baik, karena di negara-negara berkembang, pajak yang bocor darishadow economy cukup signifikan. Afrika Selatan dan Turki melakukan tax amnesty untuk sektor tersebut, dan kita juga bisa melakukannya,” katanya.
Yang ketiga, menurut Bawono, Indonesia seharusnya juga membuat general anti-avoidance rule (GAAR) atau aturan anti-penghindaran pajak. Aturan GAAR belum ada di Indonesia. Selama ini pemerintah baru sebatas menangkal praktik curang yang sifatnya spesifik sepertitransfer pricing atau control-foreign company. GAAR lebih luas. Karena itu, pemerintah bahkan bisa mengoreksi atau membatalkan transaksi yang dianggap semata-mata untuk mendapatkan manfaat pajak.
Bawono lalu mencontohkan ketika sebuah perusahaan mengirim barang ke Hong Kong karena distributornya ada di sana. Padahal, barang itu hendak dipasarkan di Indonesia. Yang terjadi, menurut Bawono, seringkali yang dikirim ke Hong Kong cuma invoice-nya, sedang barangnya tidak. Tujuannya cuma untuk mendapatkan pajak yang lebih rendah di Hong Kong. Dengan GAAR, pengelabuan macam ini bisa langsung dibatalkan karena tidak ada substansi ekonominya.
Bila RUU Tax Amnesty gagal disetujui tahun ini, menurut Bawono, pemerintah bisa menggunakan opsi-opsi di atas untuk meningkatkan pemasukan pajak. Atau bahkan main keras lewat penegakan hukum. Menurut Bawono, saat ini tren yang berkembang adalah bahwa pajak itu justru lebih tinggi statusnya dibandingkan kerahasiaan. Di Argentina misalnya, otoritas pajak bahkan bisa memeriksa isi rekening nasabah bank.
Basfin Siregar, Mukhlison S. Widodo, Averos Lubis, Andi Anggana, Fahmy Fotaleno, dan Jennar Kiansantang
***
Realisasi Penerimaan Pajak Pemerintah 2009-2015 (trilyun rupiah)
Tahun Target APBN-P Realisasi Shortfall
2009 528 494 -34
2010 597 567 -30
2011 698 667 -31
2012 817 753 -65
2013 921 833 -88
2014 1.072 981 -91
2015 1.294 1.055 – 239
Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2005-2013, Riset Gatra.
***
Jumlah Aliran Dana Mencurigakan dari Indonesia (US$ Juta)
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Total Yearly Average Indonesia 15,995 18,354 27,237 20,547 14,646 18,292 19,298 14,633 180,71 18,071
Sumber: Global Financial Integrity Report, December 2015, Illicit Financial Flows from Developing Countries.
Majalah GATRA Edisi 24 / XXII 20 Apr 2016